Maju sebagai Caleg (calon anggota legislatif) untuk DPR-RI dari PBR (Partai Bintang Reformasi) untuk Dapil (daerah pemilihan) I Provinsi Riau, bukan lantaran H. Malkajuni Nantan SIP terjebak dengan eforia: selagi terbuka peluang untuk berkiprah di lembaga dewan, maka ikut-ikutan pula mengadu peruntungan.
Malkajuni Nantan mengaku punya satu agenda besar dengan keterlibatannya untuk ikut bersaing memperebutkan kursi di lembaga dewan, yaitu akan memperjuangkan keseimbangan antara pembangunan fisik dengan moral, terutama untuk daerah yang akan diwakilinya, Provinsi Riau. “Sebagai umat muslim, apalagi dalam kapasitas sebagai da’i, saya memiliki tanggung jawab moral yang berat tentang itu,” jelasnya kepada Riau Satu.
Dalam pandangan laki-laki kelahiran Bengkalis, Kabupaten Bengkalis, 26 Juni 1952, ini menyusul pelaksanaan otonomi daerah, pembangunan di Riau mengalami kemajuan yang sangat pesat, di luar perkiraan banyak orang. Kondisi demikian, antara lain, dimungkinkan oleh besarnya kucuran dana dari pusat untuk Riau, terutama dari DBH (dana bagi hasil) migas (minyak dan gas bumi).
Tapi, dalam pengamatan suami dari Hj. Chairiah yang telah memberinya lima anak ini, kepesatan kemajuan Riau juga mencecerkan sejumlah dampak yang tidak baik. Antaranya, meguatnya kesan bahwa gerak pembangunan selama ini semata berorientasi fisik, dan yang tak kalah mencemaskan adalah ketimpangan antara kalangan berada dengan yang tak berpunya yang makin menganga lebar.
“Jujur saja, kita belum melihat ada keseimbangan,” sambung alumnus ilmu politik dari Universitas Lalang Buana Bandung ini. Dikatakan, dinamika pembangunan Riau di segi fisik maju dengan pesat, ditandai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang tinggi, masuknya banyak investasi, dan Riau yang perlahan mewujudkan obsesinya sebagai daerah pertumbuhan baru di Indonesia.
“Tapi kita melihat, pembangunan di segi moral, agama, etika, sopan santun, dan sejenisnya itu, belum mendapat sentuhan sebagaimana yang diharapkan,” tambah Malkajuni. Boleh jadi pemerintah memiliki program untuk itu, disertai dengan alokasi sejumlah dana, “Tapi pembangunan di sisi moral belum mendapat sentuhan sebagaimana yang diharapkan,” tambah Malkajuni. Boleh jadi pemerintah memiliki program untuk itu, disertai dengan alokasi sejumlah dana, “Tapi pembangunan di sisi moral belum mendapat sentuhan sebagaimana yang diharapkan,” katanya.
Realitas yang terhampar dalam keseharian masyarakat Riau saat ini, membuat Malkajuni prihatin. “Banyak diantara anak jati Melayu Riau yang seakan sudah tercabut dari akar budayanya sendiri,” kata Malkajuni menyebut contoh. Padahal, karena melayu identik dengan Islam, mestinya segala tindak-tanduk dan tingkah laku anak Melayu Riau merujuk ke ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW itu.
Malkajuni tidak menampik bahwa kondisi demikian antara lain dimungkinkan oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, yang memungkinkan budaya dari luar masuk dengan bebas ke daerah ini. Tapi, diingatkan Malkajuni, pemerintah yang dalam Islam disebut dengan umara’, memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk membentengi umat dari berbagai pengaruh yang tidak baik.
Bila sekarang saja, pembangunan di segi moral tidak mendapat perhatian sebagaimana yang diharapkan, yang dicemaskan bendahara DPW-PBR Provinsi Riau ini adalah kondisi moral anak jati Melayu Riau pada masa-masa yang akan dating. “Kita tak bias bayangkan bagaimana kondisi moral anak jati Melayu Riau mendatang bila kita yang hidup di hari ini tidak memberikan perhatian yang sungguh-sungguh untuk itu,” tandasnya.
Malkajuni mengaku bukan sebagai pihak yang anti-modernisasi. Dikatakan, sebagai bagian dari komunitas masyarakat dunia yang sudah mengglobal, Riau sah-sah saja ikut bersaing mengejar ketertinggalan untuk mencapai kemajuan yang diinginkan bersama. “Tapi jangan sampai kemajuan yang diraih dengan mengorbankan nilai-nilai luhur yang selama ini menjadi kebanggaan kita, “ ia menambahkan.
Sisi lain yang juga menjadi perhatian Malkajuni adalah gerak pembangunan di Riau yang ia nilai belum menyentuh kepentingan orang banyak. Padahal, dengan alokasi dana APBD baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang demikian besar, sudah semestinya semua anak negeri memiliki tingkat kemakmuran yang memadai.
Ia menyebut contoh sebuah desa di Kabupaten Bengkalis sana. Ketika Malkajuni berkunjung ke desa itu, beberapa waktu lalu, ia menemui kenyataan bahwa betapa memprihatinkannya kondisi di sana, baik kondisi sosial-ekonomi desa, maupun kondisi perekonomian masyarakat yang bermukim di dalamnya. Merujuk APBD Bengkalis yang besar, “Seyogianya kondisi demikian tidak terjadi,” katanya.
Bila malam datang, kenang Malkajuni, desa itu gelap gulita karena listrik PLN belum masuk ke desa itu.
Memang tampak beberapa tiang listrik yang tegak kokoh di sepanjang jalan desa, tapi sejauh ini aliran listrik belum masuk ke sana. Belum lagi kondisi perekonomian mayoritas masyarakat desa itu, yang dalam pandangan Malkajuni jauh di bawah standar-standar kemanusiaan yang layak.
Ironisnya, imbuh Malkajuni, ia melihat pemerintahan di sana malah terkesan asyik-masyuk membangun gedung-gedung megah, fasilitas-fasilitas untuk kepentingan umum yang menelan dana miliaran rupiah, pejabat yang berlimpah harta-benda, dan sejenisnya itu. “Saya jadi bertanya, pembangunan yang dengan susah payah kita lakukan, yang menelan dana yang tidak sedikit, sebenarnya untuk siapa?” tanyanya.
Kalau gerak pembangunan sejatinya diabdikan untuk kepentingan orang banyak, menurut Malkajuni, tidak seharunya kondisi demikian terjadi.
Pemerintah sah-sah saja membangun gedung-gedung megah dan fasilitas-fasilitas untuk kepentingan umum yang mewah, tapi mesti dengan terlebih dahulu mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat secara umum.
Dengan kata lain, dijelaskan Malkajuni, untuk apa gedung-gedung megah dan fasilitas-fasilitas untuk kepentingan masyarakat yang mewah, kalau dalam realitasnya masih ada bahkan mungkin tergolong banyak anggota masyarakat yang masih berkutat seputar urusan kebutuhan dasar.
“Karena itu semua tidak menyentuh langsung kepentingan rill masyarakat,” imbuhnya lagi.
(Tulisan pernah dimuat di RIAU SATU, 28 Desember 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar